English French German Spain Russian Japanese Arabic Chinese Simplified

Sabtu, 15 Februari 2014

KUTITIPKAN PERJUANGAN DAKWAH SANG NABI SAW PADA KALIAN

SALAH satu wasiat Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa: “Jika aku wafat mendahului kalian, kutitipkan perjuangan dakwah sang Nabi Saw. pada kalian, kita akan abadi bersama dalam kebahagiaan kelak insya Allah tanpa ada perpisahan.”

“Habib Ismail Fajrie Alattas Berkisah Tentang Habib Mundzir bin Fuad Al-Musawa”

Saya mengenal Habib Mundzir kira-kira akhir tahun 1998. Waktu itu beliau baru kembali ke tanah air setelah beberapa tahun mondok di Hadhramaut. Kala itu, kalangan habaib dan kyai di Jawa tercengang dengan kembalinya kurang lebih 40 anak Indonesia yang baru kembali dari Hadhramaut.

Ke 40 pemuda tersebut adalah murid dari Habib Umar bin Hafidz, seorang ulama muda (kelahiran 1962) yang namanya tengah melejit. Habib Umar pertamakali dikenal di Indonesia tahun 1993, ketika beliau datang ke Jawa atas undangan Habib Anis al-Habsyi Solo.

Pada kunjungan tersebut, banyak habaib dan kyai yang mengagumi ilmu dan kemampuan retorika Habib Umar. Akhirnya setelah kurang lebih sebulan di Indonesia, Habib Umar kembali ke Hadhramaut membawa 40 murid, salah satunya Habib Mundzir.

Kala itu, keadaan di Hadhramaut serba kekurangan. Yaman Selatan baru bersatu dengan Yaman Utara. Banyak masyarakat yang berharap. Setelah lebih dari 2 dekade di bawah rezim komunis, Yaman Selatan akhirnya kembali mencicipi kebebasan. Madrasah-madrasah yang dahulu ditutup paksa oleh rezim komunis kini terbuka kembali. Di bawah rezim komunis, banyak ulama yang dibunuh dan diculik, salah satunya ayah Habib Umar, Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz. Setelah bersatunya Yaman, ulama-ulama yang dahulu terusir dari tanah airnya, kini kembali menyemarakkan majelis-majelis ilmiah di Hadhramaut.

Para pemuda, seperti Habib Umar yang memiliki kegelisahan, akhirnya mampu mengekspresikan ilmu dan keberagamaan mereka secara bebas. Mereka ingin mengembalikan kembali semangat keagamaan yang damai, toleran, berbasis Ahlussunnah wal Jama’ah dan tasawwuf ke Hadhramaut.

Di saat yang sama, mereka menghadapi kaum Salafi-Wahabi yang kala itu digunakan oleh pemerintahan Yaman Utara untuk merongrong Yaman Selatan. Jadi, bagi para ulama termasuk Habib Umar, tantangannya adalah bagaimana membangun kembali kehidupan beragama yang damai. Bagaimana menjaga paham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) di tengah rongrongan Salafi-Wahabi dan sisa-sisa paham komunisme di Yaman Selatan.

Maka dalam konteks yang demikian, dibukalah kembali institusi-institusi pendidikan tradisional, seperti Rubath Tarim yang telah sekian lama ditutup. Itulah konteks Hadhramaut ketika Habib Umar kembali membawa 40 pemuda Indonesia.

Sebagai seorang yang belum dikenal, Habib Umar tidak memiliki madrasah atau pesantren. Ia harus mendidik 40 anak tersebut sendiri. Maka disewalah rumah tempat tinggal 40 anak tersebut. Setiap hari Habib Umar megajarkan mereka ilmu dan amalan pembersihan hati. Tak ada institusi formal, tak ada asisten dosen, tak ada kemewahan. 40 anak tersebut ditempa dan diasuh langsung oleh Habib Umar.

Semangat keberagamaan gegap gempita di atas tumpukan sejarah masa kelam rezim komunis. Semangat keberagamaan menguat, untuk menghadapi golongan Salafi-Wahabi eks-Afghanistan yang ditopang oleh pemerintah Yaman Utara. Maka beruntunglah 40 pemuda tersebut, diasuh dan dididik dengan penuh semangat dan optimisme akan hari depan yang lebih cerah.

 Belum genap setahun 40 anak Indonesia di Hadhramaut, pecahlah perang saudara antara Yaman Selatan dan Utara. Habib Umar merasa bertanggung jawab untuk melindungi ke-40 anak yang telah dititipkan kepadanya oleh orang tua mereka.

Keadaan sangat buruk. Listrik mati. Tak ada makanan. Ke-40 anak tersebut terpaksa makan roti dengan lauk sambal. Hidup dalam kancah peperangan sangat sulit.

Namun di tengah kesengsaraan, sang guru tetap mengajarkan mereka pilar-pilar Aswaja. Membersihkan jiwa mereka dengan segenap dzikir. Sampai akhirnya perang berakhir dan kembai ke Indonesia pada tahun 1998. 40 anak Indonesia tersebutlah yang menjadi embrio terbentuknya pesantren Darul Musthafa yang hingga kini diasuh Habib Umar.

Sekarang, pesantren Darul Musthafa menjadi salah satu tujuan favorit para penuntut ilmu dari seluruh dunia, termasuk AS dan Inggris. Tak ada yang menyangka sebuah kunjungan ke Solo tahun 1993 berujung pada berdirinya salah satu pusat keilmuan Islam tradisional dunia.

Ketika 40 pemuda tersebut kembali ke Indonesia, mereka langsung menempati posisi-posisi bergengsi dalam gerakan dakwah dan ilmu. Kebanyakan dari mereka adalah anak habaib atau kyai berpengaruh. Saat mereka kembali, mereka menjadi pemimpin di institusi masing-masing. Sebagian lagi ada yang diambil menantu oleh habaib dan kyai yang berpengaruh.

Habib Mundzir adalah kasus yg unik. Beliau bukan anak ulama. Ayahnya jurnalis lulusan New York University. Ia tidak memiliki pesantren dan tidak memiliki tempat bernaung. Beberapa tahun pertama, Habib Alawi al-Aydrus memintanya untuk mengasuh majelis taklim di Cipayung. Tapi sepertinya ada kegelisahan dalam diri Habib Mundzir. Ia seperti tidak memiliki tempat untuk berkiprah.

Tempat-tempat prestisius dalam gerakan dan institusi dakwah telah diisi oleh anggota keluarga masing-masing. Seorang habib tanpa trah keulamaan yang kuat seperti dirinya seakan disisihkan oleh mereka yang telah memiliki tempat yang kokoh. Realitas demikian banyak terjadi di Indonesia. Seorang cerdas kembali ke tanah air dan tak mendapatkan tempat.

Namun justru realita dakwah yang demikian, dengan mafia-mafia dakwahnya, membentuk figur Habib Mundzir yang siap mendobrak tatanan dakwah di Jakarta.

Saya ingat beliau cerita di kantornya di Tebet: “Dakwah adalah kewajiban kita semua, bukan hanya untuk anak kyai dan habib kondang.”

Akhirnya Habib Mundzir meninggalkan Cipayung dan mulai mengajar dari rumah ke rumah di kawasan Pasar Minggu dan Kalibata, Jakarta Selatan. Beliau membangun majelis kecil-kecilan tanpa tempat. Berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah lainnya. Dan akhirnya sebuah masjid di Pancoran membuka pintunya untuk majelis Habib Mundzir. Maka terbentuklah Majelis Rasulullah.

Sesuatu yang dikerjakan secara serius dan telaten, akhirnya membuahkan hasil. Lambat laun jamaah beliau tambah banyak.

Habib Mundzir mencoba membuka pintu dakwah agar pelbagai kalangan dapat ikut masuk, khususnya kaum pemuda ibukota. Dalam berdakwah beliau mencoba mencari jalan tengah dan persamaan, ketimbang membangun kebencian dan permusuhan. Sampai-sampai, beliau lebih suka menggunakan kitab Shahih Bukhari dalam pengajiannya, karena kitab tersebut diterima oleh semua kalangan. Beliau menyuguhkan jangkar pada pemuda ibukota yang terombang-ambing di tengah derasnya arus perubahan ibukota.

Melalui solidaritas yang dipupuk dalam majelis-majelis beliau, pemuda ibukota yang sebelumnya bingung ke mana melangkah, mendapatkan pemaknaan. Banyak pengikut Habib Mundzir bukan berasal dari background Nahdliyin (NU). Kadang mereka kerap mengkritik beliau. Namun beliau dengan sabar menjawab dan berkaca. Beliau menggunakan media internet untuk berkomunikasi dengan pengikut beliau.

Bagi Habib Mundzir sepertinya dakwah harus menjemput bola. Ulama harus proaktif mengikuti perkembangan zaman dan perubahan masa. Beliau bercerita pada saya bagaimana beliau rela mengikuti kritikan sebagian pengikutnya, agar mereka masih mau tetap belajar. Pada figur Habib Mundzir kita menemukan seorang da’i yang siap menuruti kehendak ummatnya, selama itu baik, ketimbang selalu minta diikuti.

Pada akhirnya, Habib Mundzir mengajarkan pada kita bahwa dakwah bukanlah milik segelintir individu mapan. Dakwah adalah proyek bersama. Kita semua harus berdakwah, bukan hanya anak-anak para ulama dan pembesar agama. Anak-anak muda yang tidak dari kalangan pesantren juga turut serta. Anak muda ibukota, kaya-miskin, terdidik-tidak terdidik, semua dapat ikut serta menjaga panji Rasul Saw.

Habib Mundzir mengajarkan pada kita bahwa mengikuti Sang Kekasih Saw. tidak berarti kita harus bersikap keras dan intoleran. Justru dengan lemah lembut, santun dan dengan budi pekerti yang baik, kita akan dapat menjadi duta duta Sang Kekasih Saw. untuk ummat manusia.

Saya ingat ketika ribut-ribut masalah Ahmadiyah, Habib Mundzir meminta pengikutnya untuk tidak ikut-ikutan demo dan huru hara anti-Ahmadiyyah. Bagi beliau, cara menghadapi Ahmadiyah yang paling baik adalah memperkuat aqidah dan amaliyah Aswaja, bukan dengan cara-cara reaksioner.

Tumbuhkan rasa cinta ummat kepada Sang Kekasih Saw., maka semuanya akan terbangun dan tertata rapi. Begitu sepertinya formula Habib Mundzir. Memutuskan tali cinta ummat kepada Sang Kekasih akan menghancurkan ummat.

Akhirnya, semoga Tuhan meliputi hati kita dengan cinta kepada Sang Kekasih Saw. Semoga Tuhan membalas amal dan kerja keras Habib Mundzir dengan sebaik-baik balasan. Dan semoga kelak kita semua dikumpulkan dengan Sang Kekasih.

Demikianlah sedikit kenangan saya tentang Habib Mundzir. Sekali lagi saya turut berduka cita kepada seluruh umat Islam atas musibah ini. Saya tidak hanya kehilangan seorang kawan dan saudara. Saya kehilangan seorang sosok yang saya kagumi. Demikianlah yang bisa saya sampaikan tentang sosok Habib Mundzir. Kurang lebihnya mohon maaf.

(Habib Ismail Fajrie Alattas (sang penulis) adalah seorang habib muda yang menekuni tasawuf, filsafat, sastra dan musik. Saat ini sedang menyelesaikan program doktoralnya di bidang antropologi dan sejarah di University of Michigan, Amerika).

Kamis, 30 Januari 2014

Sepenggal Kisah Dari Perang Tabuk Tertinggalnya Sahabat Kaab Bin Malik Radhiyallaahu Anhu Dari Perang Tersebut



Ada tiga orang yang mereka diuji keimanannya oleh Allah ketika ada seruan jihad pada perang tabuk. Salah satunya adalah Ka’ab bin Malik rodhiyallaahu ‘anhu, beliau adalah yang termuda di antara dua Shahabat yang lain. Pada saat seruan untuk berjihad, Ka’ab bin Malik saat itu merasa bahwa dia sangatlah pada kondisi paling kuat, dan tidak memiliki udzur untuk tidak ikut berperang, bahkan kendaraan untuk berperang sudah dia siapkan. Namun, Ka’ab menunda-nunda keberangkatannya, yang akhirnya dia tidak berangkat berjihad sama sekali.
Kemudian sepulangnya Rosulullaah shollallaahu ‘alayhi wa’alaa aalihi wasallam dari tabuk, maka menghadaplah orang-orang yang tidak ikut berperang. Ketika itu orang-orang munafiq mengemukakan alasan-alasan dusta agar mereka selamat. Namun apa yang dilakukan oleh Ka’ab adalah jujur, Ka’ab mengatakan bahwa yang dia lakukan itu tidaklah memiliki udzur dan Ka’ab mengharapkan ampunan dari Allah dan tidak berdusta terhadap Allah dan RosulNya.
Ternyata Allah menunda memberikan keterangan bahwa taubatnya diterima, agar semua itu menjadi pelajaran berharga dan semua itu penuh dengan hikmah. Ka’ab bersama dua Shahabat yang lain mengalami pemboikotan oleh manusia selama 50 malam. Sampai-sampai mereka bertiga merasa dunia ini sempit dan merasa diasingkan. Namun setelah itu akhirnya Allah memberitahukan kepada Nabi shollallaahu ‘alayhi wa’alaa aalihi wasallam bahwa taubatnya Ka’ab diterima.
Sungguh terdapat faedah-faedah dari penggalan kisah ini. Di antaranya yang disebutkan Al-Imam Ibnul Qoyyim rohimahullaah dalam “Jaami’ As-Siroh”;
“Jika seseorang memiliki peluang untuk mendekatkan diri kepada Allah dan melaksanakan ketaatan kepadaNya, maka ia harus membulatkan tekad untuk melakukannya, bersegera kepadanya, dan tidak mengulur-ulurnya. Terutama jika ia tidak yakin dengan kemampuannya dan memiliki faktor-faktor untuk meraihnya. Sebab, tekad dan kemampuan itu cepat lenyap, jarang sekali menetap. Allah akan menghukum siapa saja yang telah Dia bukakan untuknya pintu kebajikan lalu ia tidak segera melakukannya, dengan menghalangi antara hatinya dengan kehendaknya. Akibatnya, ia tidak bisa melakukannya setelah meniatkannya sebagai bentuk hukuman terhadapnya. Barangsiapa tidak memenuhi seruan Allah dan RosulNya, ketika Dia menyerunya, maka Dia menghalangi antara hatinya dengan kehendaknya. Akibatnya, setelah itu, ia tidak bisa lagi memenuhi seruanNya. Dia berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَجِيبُواْ لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُم لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rosul apabila Rosul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya.” {QS. Al-Anfal: 24.}
Allah telah menyatakan hal ini dalam firmanNya,
وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُواْ بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ
“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan pengelihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Quran) pada permulaannya.” {QS. Al-An’am: 110.}
Dia berfirman,
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka.” {QS. Ash-Shoff: 5.}
Dia berfirman,
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُم مَّا يَتَّقُونَ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskanNya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi.” {QS. At-Taubah: 115.}
Dan, ini banyak dalam Al-Quran.”
Pelajaran dari kisah perang tabuk, ketika Shahabat Ka’ab bin Malik rodhiyallaahu ‘anhu yang menunda ikut berangkat berperang di peperangan tabuk. Dikutip dari “Jaami’ As-Sirooh” Al-Imam Ibnu Qoyyim rohimahullaah, Penyusun; Yusri Sayyid Muhammad. Edisi terjemah: “Sejarah Hidup Nabi Muhammad & Para Shahabat”, hal. 273, Daar An-Naba’.

Fatimah az Zahra {Bag.2}



Sekalipun demikian melimpahnya kecintaan ini akan tetapi Nabi menjelaskan kepada putrinya dan juga yang lain agar senantiasa beramal dan berbekal takwa. Suatu hari beliau berdiri dan berseru:
“Wahai sekalian orang-orang Quraisy jagalah diri kalian, sesungguhnya aku tidak dapat membantu kalian di sisi Allah sedikitpun, wahai… wahai… wahai Fathimah binti Muhammad mintalah kepadaku hartaku yang kamu sukai, aku tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah sedikitpun. “
Dalam riwayat lain:
“Wahai Fathimah binti Muhammad selamatkanlah dirimu dari neraka, karena sesungguhnya aku tidak kuasa memberikan madharat dan manfaat di sisi Allah. “[14]
Dari Tsauban ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumah Fathimah sedangkan ketika itu aku bersama beliau. Fathimah mengambil kalung emas dari lehernya seraya berkata, “Ini adalah kalung yang dihadiahkan Abu Hasan kepadaku.” Maka beliau bersabda:
“Wahai Fathimah apakah engkau senang jika orang-orang berkata, inilah Fathimah binti Muhammad sedangkan di tangannya ada kalung dari neraka?” Kemudian beliau memarahi Fathimah dengan keras dan menghardiknya, kemudian beliau keluar tanpa duduk terlebih dahulu. Maka Fathimah mengambil sikap untuk menjual kalungnya, kemudian hasilnya beliau belikan seorang budak wanita setelah itu beliau merdekakan. Tatkala hal ini sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabdalah beliau:
“Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan Fathimah dari neraka.” [15]
Maka kedudukan yang telah diraih oleh Fathimah radhiyallahu ‘anha di sisi ayahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut tidak manghalangi Rasulullah memarahinya, mencelanya bahkan mengancamnya dan bahwasanya sekali-kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dapat menolong Fathimah dari kehendak Allah. Bahkan beliau juga memberikan ancaman, seandainya dia mencuri, maka akan ditegakkanlah hukum atasnya yakni hukum potong tangan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang seorang wanita al­Makhzumiyah yang mencuri kemudian kaumnya memintakan ampunan agar wanita tersebut bebas melalui Usamah bin Zaid bin Haritsah kekasih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda:
“Demi Allah seandainya Fathimah binti Muhammad itu mencuri, niscaya akan aku potong tangannya,” [16]
Bahkan lebih dari itu, dengan kapasitas kecintaan Nabi yang sangat mendalam kepada Fathimah, beliau lebih mendahulukan pemberiannya kepada orang-orang fakir dan yang membutuhkan daripada Fathimah, sekalipun beliau menghadapi sulit dan susahnya kehidupan. Ali radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Fathimah radhiyallahu ‘anha, “Alangkah lelahnya engkau wahai Fathimah sehingga menyedihkan hatiku. Sungguh Allah telah memberikan tawanan kepada Rasulullah, maka mintalah kepada beliau satu tawanan saja yang akan membantumu dalam bekerja!” Fathimah menjawab, “Akan aku lakukan insya Allah.”
Kemudian Fathimah mendatangi Nabi tatkala beliau melihat kedatangannya beliau menyambutnya dan bertanya, “Ada keperlu­an apa engkau datang ke sini wahai anakku?” Fathimah menjawab, “Kedatanganku ke sini untuk mengucapkan salam buat ayah” Tiba-tiba beliau malu untuk mengutarakan permintaannya, maka beliau pulang dan kembali lagi bersama Ali lalu Ali menceritakan keadaan Fathimah kepada Nabi. Namun Rasulullah bersabda:
“Demi Allah aku tidak akan memberikan kepada kalian berdua sedangkan aku membiarkan ahlu shuffah dalam keadaan lapar, aku tidak mendapatkan apa-apa untuk aku infakkan kepada mereka, tapi aku akan menjual para tawanan tersebut dan hasilnya akan aku infakkan kepada mereka. “
Maka kembalilah mereka berdua ke rumahnya kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi keduanya. Beliau masuk rumah mereka dan mendapatkan keduanya sedang berselimut yang apabila ditutupkan kepalanya maka terbukalah kakinya dan apabila ditutupkan kakinya maka terbukalah kepalanya. Keduanya hendak bangkit untuk menyambut Nabi, namun beliau bersabda, “Tetaplah di tempat kalian berdua..! Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang sesuatu yang lebih baik dari apa yang kalian minta kepadaku itu?” Mereka berdua menjawab, “Mau ya Rasulullah!” Kemudian beliau bersabda:
“Kuajarkan kepada kalian kata-kata yang diajarkan Jibril kepadaku, ‘Ucapkanlah setiap selesai sholat fardhu Subhanallah 10 kali, Alhamdulillah 10 kali, dan Allahu Akbar 10 kali. Apabila kalian hendak tidur maka bacalah Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali dan Allahu Akbar 34 kali. Hal itu adalah lebih baik bagi kalian berdua daripada seorang pembantu. “
Maka Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah, aku tidak meninggalkan kata-kata ini sejak beliau mengajarkannya kepadaku.” Salah seorang sahabat bertanya, “Tidak kau tinggalkan juga tatkala malam di perang shiffin?” Beliau menjawab, “Walaupun di malam perang shiffin.”[17]
Sungguh sayyidah Fathimah radhiyallahu ‘anha telah melalui banyak kejadian­-kejadian besar yang ruwet dan sangat keras, hal itu beliau alami sejak usia muda tatkala wafatnya ibu beliau, disusul kemudian saudara perempuannya yang bernama Ruqayyah, kemudian pada tahun 8 Hijriyah wafatlah kakaknya yakni Zainab dan pada tahun 9 Hijriyah menyusul kemudian wafatnya Ummi Kultsum.
Beliau juga menanggung hidup dalam kekurangan dan banyak mengalami kesulitan dan kesusahan. Akan tetapi seorang wanita yang dibina oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan bersedih hati terlebih lagi berputus asa. Bahkan beliau adalah profil dari wanita yang sabar, konsisten dan muhajirah.
Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan haji yang terakhir (Hujjatul wada’) dan telah meletakkan dasar-dasar Islam dan Allah telah menyempurnakan dienul Islam, Rasulullah menderita sakit. Manakala Fathimah mendengar berita tersebut beliau dengan segera pergi menemui ayahnya untuk menghibur dan menenangkan hatinya, sementara Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu bersama Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.Pada saat Nabi melihat kedatangan putrinya, dengan riang gembira beliau bersabda, “Selamat datang wahai putriku.” Kemudian beliau menciumnya dan mendudukkannya di kanannya atau di kirinya, kemudian Nabi membisikkan sesuatu kepadanya sehingga membuat Fathimah menangis dengan tangisan yang memilukan, namun ketika Nabi melihat kesedihannya beliau membisikkan kepadanya untuk yang kedua kali sehingga menyebabkan Fathimah tertawa. Aisyah berkata, ‘Rasulullah mengistimewakan engkau dari seluruh wanita anggota keluarganya dalam hal yang rahasia, tapi kamu malah menangis?” Tatkala Rasulullah sedang berdiri, ‘Aisyah bertanya, “Apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan kepadamu?” Fathimah menjawab, “Aku tidak akan menyebarkan rahasia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
`Aisyah berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat aku berkata kepada Fathimah, aku bertekad agar engkau menceritakan kepadaku tentang apa yang telah dikatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadamu.” Fathimah berkata, “Adapun sekarang, baiklah aku ceritakan. Pada saat beliau membisiki aku yang pertama, beliau mengatakan bahwa biasanya Jibril memeriksa bacaan Qur’annya sekali dalam setahun, akan tetapi sekarang Jibril memeriksa bacaannya dua kali dan beliau merasa ajalnya sudah dekat. Maka takutlah kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya aku adalah sebaik-baik penghulu bagimu.” Maka aku menangis dengan tangisan yang engkau lihat. Tatkala beliau melihatku sedih, beliau membisiki aku untuk yang kedua kalinya, beliau bersabda:
“Wahai Fathimah relakah engkau menjadi ratu bagi para wanita di surga? Dan engkau adalah anggota keluargaku yang paling cepat menyusulku. “
Mendengar kabar tersebut maka aku tertawa.[18]
Semakin bertambahlah rasa sakit yang di derita oleh Rasulullah dan bertambah sedihlah Fathimah. Beliau berdiri disamping ayahnya untuk menjaga dan membantu beliau serta berusaha untuk bersabar. Akan tetapi manakala Fathimah melihat ayahnya nampak berat dan mulai kesakitan, Fathimah menangis tersedu-sedu dan berkata dengan suara lirih menandakan kesedihan, “Sakit wahai ayah..?” Maka beliau bersabda:
“Tidak ada sakit lagi bagi ayahmu setelah hari ini.”
Tatkala beliau wafat Fathimah berkata, “Wahai ayah engkau telah memenuhi panggilan Rabb-mu… wahai ayah surga firdaus adalah tempat tinggalmu … wahai ayah kepada Jibril kami beritahukan wafatmu.”
Ketika Nabi Alaihis shalatu wassalam dikubur, Fathimah berkata, “Wahai Anas bagaimana kalian tega menimbun ayah dengan tanah?”[19] Maka menangislah az-Zahra’ ibu dari ayahnya dan menangislah kaum muslimin seluruhnya atas kematian Nabi dan Rasul Muhammad dan mereka ingat firman Allah:
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. ” (QS. Ali Imran: 144).
Dan juga firman Allah:
“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu wafat, apakah mereka akan kekal?” (QS. al-Anbiya’: 34)
Tidak beberapa lama kemudian setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kira-­kira enam bulan, az-Zahra’ sakit namun dirinya bergembira dengan kabar gembira yang telah dikabarkan oleh ayahanda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa dirinya adalah anggota keluarga pertama yang akan bertemu dengan Nabi, dan berpindahlah Fathimah keharibaan Allah pada malam Selasa pada tanggal 3 Ramadhan 11 Hijriyah tatkala beliau berumur 27 tahun.
Semoga Allah merahmati az-Zahra’ Raihanah (bunga yang harum) putri dari penghulu anak Adam, istri dari penghulu para prajurit penunggang kuda dan ibu dari Hasan dan Husein bapaknya para syuhada’ dan ibu dari Zainab pahlawan Karbala.
Sungguh az-Zahra’ telah memberikan teladan yang istimewa bagi kita, profil yang paling tinggi dalam hidupnya dan sungguh beliau adalah contoh yang paling tinggi sebagai istri shalihah yang bersabar menghadapi kesulitan dan kesempitan hidup. Beliau juga merupakan tokoh paling ideal dalam bergaul dengan tetangga dan kerabat-­kerabatnya. Beliau adalah qudwah dalam menasihati umat dan pemberi arahan bahkan bagi anggota keluarganya.
Nah kami mendapati perjalanan hidup az-Zahra’ yang harum dengan sya’ir yang bagus yang dibuat oleh penyair Pakistan Muhammad lqbal dengan judul “Fathimah az-Zahra”‘.
Foot Note:
[14] HR. al-Bukhari dalam Tafsir Suratusy Syu’ara’ pada bab: Dan Berilah Peringatan kepada Kerabatmu yang Dekat (VI/16) dan Muslim dalam AI-Iman pada bab: Firman Allah Ta’ala, ”Fa andzir `asyiratakal aqrabiin”, no. 206.
[15] HR. an-Nasa’i dalam az-Zinah (VIII/158) dan al-Hakim (111/152-153).
[16] HR. al-Bukhari dalam kitab al-Hudud pada bab: Menerapkan Sangsi bagi yang Berkedudukan Mulia dan yang Lemah (VIII/16) dan Muslim dalam al-Hudud pada bab: Potong Tangan bagi yang Berkedudukan Mulia dan yang Lain, no. 1688.
[17] Al-Ishabah (VIII/159) dan inti hadits dalam Shahih Muslim dan lafadznya bermacam-macam dalam kitab Dzikir wad Du’a’ pada bab: Tasbih di Awal Siang dan Tatkala Hendak Tidur. no. 2727-2728.
[18] HR. al-Bukhari dalam al-Maghazi pada bab: Sakit dan wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (V/137) dan Muslim dalam Fadha’ilush Shahabah pada bab: Keutamaan Fathimah binti Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, no. 2450.
[19]  HR. al-Bukhari dalam al-Maghazi pada bab: Sakitnya Nabi dan Wafat Beliau (V/137).
Sumber: “Mereka Adalah Para Shahabiyah”, Mahmud Mahdi al Istanbuli & Musthafa Abu an Nashir asy Syalabi, Penerbit at Tibyan